Keluarga Gerilya
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Penerbit Fajar Bakti 1988
Sinopsis
Melukiskan seorang pengarang dan keadaannnya secara utuh, jelas, mustahil. Yang utuh itu tetap orangnya sendiri dan keadaannya. Itu sebab sudah pada awalnya dia kunamai Sa’aman. Nama sebenarnya : Wahab. Sa’aman bukan tiruan dari Wahab, tetapi Wahab dalam gambaranku, pengarangnya. Wahab sebuah realitas baru, relitas sastera, kerana ia menjadi realitas hanya melalui sastera.
Dan siapa Wahab?
Dia adalah wakil komandan sebuah seksi di bawah pimpinanku. Tahun 1946. menjelang akhir tahun tersebut. Kami berdua meninggalkan pangkalan, Cikampek, menyusup ke Jakarta, yang semasa itu dalam pendudukan tentera kolonial Belanda. Pada bulan Julai 1947 aku sendiri tertangkap, dia tetap lolos.
Beberapa bulan menjelang akhir 1949, dalam penjara, aku ikut mendengarkan pembacaan koran. Sebuah berita memuat semua tawanan terpaku : Wahab bekas wakil komandanku, oleh pengadilan militer Belanda dijatuhi hukuman mati dan menjalani eksekusi. Nurani peribadi, tradisi menghormati siapapun untuk membuat sesuatu. Dan hanya satu yang bisa kulakukan : berkurung diri sehabis kerja paksa dan di malam hari . menulis. Empat minggu kemudian lahirlah ia : Keluarga Gerilya.
Pada bulan September 1949, Belanda membebaskan taanan terakhir dari penjara Bukit Duri. Aku termasuk di antara rombongan akhir di penjara Bukit Duri. Aku mendapat tempat di sebuah kampung miskin. Ternyata marhum Wahab juga tinggal di kampung ini tadinya. Terakhir datang ke kampung ini marhum digotong dalam bungkusan tikar. Para tetanggga telah mengumpulkan wang tebusan f2.50 untuk izin membawa pulang jenazahnya. Dengan biaya para tetanggga juga dia mendapatkan penguburan yang wajar dan manusiawi. Itulah kisah terakhir tentangnya pada awal kedatangannya di tempat baru itu.
Tentu masih ada yang mengingati Wahab, kalau tidak banyak. Dan kisah yang ku tulis ini tak lain dari sebuah monumen yang kudirikan sendiri. Bukan sekadar bunga yang ditaburkan pada kuburannya pada setiap Hari Pahlawan. Paling tidak sebagai pengganti sumbangan wang tebusan dan biaya penguburannya.
Pramoedya Ananta Toer, Jakarta April 1988
Sepatah kata mendahului halaman Keluarga Gerilya sudah cukup layak untuk menggambarkan isi dan kandungan. Tiada kata-kata lain yang selayaknya lebih tepat untuk itu.
Ulasan
Pram punya latar pengalaman yang sangat berharga untuk dikongsi. Seorang pejuang. Seorang pemimpin revolusi. Hidup dalam buangan. Terpenjara di Pulau Buru selama puluhan tahun. Tidak kalah dengan ketajaman bayonet dan kepantasan peluru meluncur dari tangannya, Pram juga sangat tajam pemikiran dan mata penanya.
Naskah karya Pram lahir dari pengalaman beliau sendiri dan pengalaman manusia dan watak yang berlegar disekitar. Daya pengataman Pram sangat tinggi dan teliti.
Yang menjadikan Pram besar bukan semata perjalana hidupnya yang berputar dan berliku, namun lebih dari itu Pram mampu menitipkan semula semua itu dalam susunan perkataan yang indah dan terperinci. Biarpun tanpa kertas dan pena (ketika merakamkan Tetralogi Pulau Buru). Pram manusia ajaib yang pernah lahir dalam alam melayu. Keluarga Gerilya punya sedikit unsur-unsur ‘tricky’. Di awal bab pertama Amilah tidak dikesan langsung sebagai seorang yang hilang waras. Tentang baju kebaya Salmah dan beberapa bahagian lain. Namun ketidak warasan Amilah berjaya disembunyikan. Ini mengingatkan saya kepada novel kecil Pram yang berjudul Perburuan. Sungguh-sunguh pembaca akan terpedaya dengan helah dan tipu daya di awal babak pertama.
Keupayaan begini jarang-jarang dimiliki oleh penulis-penulis lain.
Keluarga Gerilya mengangkat tema kemanusiaan dan manusia itu sendiri. Tentang perjuangan menentang penjajahan Belanda (yang menjadi tema kegemaran Pram). Ternyata lahirnya novel-novel Pram itu sendiri sebahagian dari perjuangan. Untuk catatan, karya-karua Pram yang sudah diterjemah ke dalam puluhan bahasa dunia, hanya dibenarrkan terbit dalam negaranya sendiri selepas tahun 2000.
KG mamaparkan pergolakan keluarga Sa’aman yang kehilangan tonggak. Si ayah mati ditembak anak sendiri yang berbeza ideologi. Si ibu menjadi tidak waras setelah anak lelaki Sa’aman ditahan pemerintah atas alasan menyertai pergerakan bawah tanah. 2 anak lelakinya yang lain hilang tanpa khabar setelah menyertai gerilya.
Amat rugi jika tidak menelaah isi dan kandungan Keluagra Gerilya.
Labels: Novel Indonesia, Pramoedya Ananta Toer
0 Comments:
Post a Comment
<< Home